Review Buku Dari Mendulang Jadi Menambang (Jalur Emas di Lebong, Bengkulu, Abad XIX hingga Abad XX)



Keterangan Buku :

Judul : Dari Mendulang Jadi Menambang (Jalur Emas di Lebong, Bengkulu, Abad XIX hingga Abad XX)
Penulis : Siti Rahmana
Penerbit : DEEPUBLISH
Tahun Terbit : Maret 2018 (cetakan pertama)
Desain Cover : Sayid Basunindya & Siti Rahmana
Tata Letak Isi : Indah Nuraini
ISBN : 978-602-453-898-9
Tebal Buku : 95 hlm.

Sejak mengikuti pendidikan siaran setahun lalu, aku semakin ingin mencari tahu tentang Bengkulu. Maklum, programma siaran yang sekarang aku asuh, materinya tidak jauh-jauh dari budaya, tradisi & pernak pernik nusantara. Tapi yang menjadi PR adalah susahnya mencari buku-buku yang berisikan sejarah Bengkulu & tradisi-tradisi unik menarik yang dimilikinya. Di Perpustakaan Daerah ada sih, tapi bukunya gak boleh dibawa pulang, harus dibaca di tempat ato difotokopi. Walah.


Makanya, happy sekali ketika Mba Siti Rahmana, penulis buku Dari Mendulang Jadi Menambang (Jalur Emas di Lebong, Bengkulu, Abad XIX hingga Abad XX) menghubungiku & menawarkan bukunya untuk direview. Meski draft tulisan lama transit sebagai draft, karena dicekal deadline ini & itu, sebenarnya menikmati buku Mba Siti ini cukup sekali duduk saja. Didorong rasa penasaran, berikut cara bercerita penulis yang santai meski menyajikan sejarah & fakta-fakta, membuatku berhasil menyelesaikan buku ini dalam waktu singkat.

Apa istimewanya Bengkulu sehingga Inggris (139 tahun) & Belanda (118 tahun) ingin berlama-lama di daerah ini?

Apa sebenarnya yang terjadi pada rentang tahun 1824-1930 di Bengkulu, khususnya di Lebong?

Dalam buku Dari Mendulang Jadi Menambang (Jalur Emas di Lebong, Bengkulu, Abad XIX hingga Abad XX), kita akan menemukan jawabannya.

Kuasa Emas

Pertambangan di nusantara dulunya menggunakan cara tradisional sebelum bangsa Eropa datang & mengatur banyak hal dalam sebuah kelembagaan. Ada dua komoditas yang berbeda pada dua periode kolonial. Rempah-rempah menjadi komoditas utama pada periode pendudukan kolonial Inggris, sedangkan emas merupakan komoditas utama saat Bengkulu diduduki oleh kolonial Belanda. Itu artinya, Bengkulu bukan hanya bagian dari “jalur rempah”, melainkan juga termasuk bagian “jalur emas” Nusantara.

Emas digunakan sebagai simbol status sosial oleh para bangsawan di Lebong, yaitu sebagai perhiasan maupun sebagai perlengkapan upacara adat. Sedangkan di Eropa, emas bukan hanya dijadikan sebagai simbol kekayaan, melainkan juga digunakan sebagai tolak ukur moneter yang sewaktu-waktu dapat dialih-fungsikan sebagai pengganti mata uang kertas. Selain itu, emas juga dapat berfungsi untuk perhiasan sekaligus sebagai investasi & simbol kedudukan status sosial.

“Jalur Emas” di Lebong

Wilayah Lebong memiliki daya tarik ekonomi bagi Pemerintah Hindia Belanda setelah dilakukannya peralihan kekuasaan dari Inggris pada tahun 1824. Beberapa perusahaan pertambangan pun mulai didirikan di Lebong karena wilayah ini menyimpan banyak kandungan logam berupa endapan emas primer maupun sekunder.

Dari sisi karakteristik masyarakat dalam unsur tradisi dan budaya, penduduk asli di wilayah Lebong memiliki tari-tarian seperti Kejei, Diwo-diwo, Sambet, Tenunan Dewa Tujuh & Tenunan Wali Sembilan. Tari-tarian tersebut diiringi oleh alat musik tradisional bernama Kelintang Rejang yang dilengkapi dengan redap, gong kecil, gong besar & seruling bambu. Selain itu, perempuan-perempuan dari masyarakat setempat memiliki kebiasaan membawa banyak gelang & menggunakan hiasan yang dikenakan di kepala, yaitu semacam mahkota rotan atau bambu yang dihiasi dengan emas. Hal ini merepresentasikan emas ternyata sudah dikelola secara sederhana jauh sebelum bangsa Eropa datang ke Bengkulu.

Strategi Produksi “Jalur Emas” di Lebong

Bab ini membahas mengenai kegiatan eksplorasi “jalur emas” di Lebong, kegiatan eksploitasi dan hasil produksi yang diekspor, penetapan badan hukum hingga program kolonisasi pada masa-masa itu. Ada dinamika jumlah penduduk yang terjadi di Lebong, yang mana saat itu penduduk Lebong bukan hanya terdiri dari warga lokal saja, melainkan orang Melayu, Cina bahkan Eropa. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang sangat berarti dari keberadaan perusahaan pertambangan emas yang mendatangkan para kolonis.


Wajah Baru Lebong

Pemerintah Hindia Belanda mulai mendirikan perusahaan pertambangan yang kemudian dikelola dengan menggunakan teknologi dan system kerja yang lebih maju di Lebong pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Salah satu dampak dari pembangunan infrastruktur pertambangan Lebong adalah pembuatan jalan beraspal yang semakin pesat.

Pada tahun 1899, Lebong bahkan sudah menjelma menjadi kota kecil tambang yang lengkap dengan gedung bioskop, kantor pos atau telegram, rumah sakit serta gedung sekolah ELS. Keberadaan “jalur emas” mampu mengubah Lebong yang mulanya sebuah desa di pedalaman Bengkulu menjadi sebuah kota kecil dengan nuansa budaya modern. Namun sayang, semua kemajuan itu hanya dinikmati oleh orang-orang Belanda & elit lokal saja, tanpa memberikan manfaat bagi masyarakat lokal setempat.

Seriously, aku terkaget-kaget saat tahu fakta itu. 1899 di Lebong pernah ada bioskop loh, sedangkan di tahun 2018 ini kabupaten Kaur belum punya bioskop samsek. Aku pernah tugas di Kaur kurang lebih 2,5 tahun, kalo mau nonton bioskop harus pulang ke Bengkulu dulu. Hihi. Tapi apa lah arti kemajuan pembangunan sana sini kalo ternyata tidak bisa dinikmati oleh orang pribumi yes.

Last but not the least, menurutku lewat membaca buku ini, pembaca akan belajar untuk tidak menjadikan sejarah hanya sebagai peristiwa masa lalu, melainkan sebagai ilmu untuk dijadikan pijakan melakukan perbaikan untuk masa yang akan datang. Selain itu, dengan mengetahui potensi & hal-hal menarik yang dimiliki Bengkulu, akan melahirkan optimisme & kepercayaan diri anak muda-anak muda untuk bangga menjadi generasi penerus Bengkulu. Semoga makin banyak buku-buku yang mengulas sejarah Bengkulu tempo dulu, agar kita semakin mengenal & mencintai Bumi Rafflesia ini. :)


IBX5B600B569C010

5 komentar

  1. Wah harusnya fasilitas yang pernah ada tetap dipertahankan paling tidak dibangun kembali untuk kita ataupun anak cucu nanti, Insya allah

    BalasHapus
  2. Sejak SD kita tahunya kalo Lebong itu penghasil emas.Cerita sejarah tentang itu kita tidak dapati, mungkin dengan membaca buku ini bisa terjawabkan ya Ntan?

    BalasHapus
  3. penasaran sama buku ini, buku sejarah ya. pernah dihubungi oleh penulisnya waktu itu

    BalasHapus
  4. Dengar kabar, emas yang ada di tugu monas itu ada yang dari emas Lebong ya?

    BalasHapus
  5. Wajib dilestarikan sejarah Bengkulu mbak meakipun dalam bentuk buku, agar generasi penerus juga tahu.

    BalasHapus