Giveaway Free Care Day || Agustus 2016

Hola!
Jumat manis. Jumat manis.

Waoo mau curhat dikit yak. Akhir-akhir ini rasanya waktu 24 jam sehari jadi terasa amat kurang. Kalo bisa 48 jam dah sehari. Soale waktuku bener-bener tersedot di kantor. Cem macem kerjaan. Banyak event, jadwal siaran pun padat merayap. Ini aja masih belajar nyuri-nyuri waktu biar bisa tetap ngeblog. Ganbatte!

Review Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye

Keterangan Buku : 

Judul : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah 
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2012
ISBN : 978-979-22-7913-9
Tebal : 512 hlm. 



Dapatkan Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah di SCOOP

Blurb :

Ada tujuh miliar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada satu miliar lebih cerita cinta. akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan dunia mana, berbinar, berharap-harap cemas, gemetar, malu-malu menyatakan perasaannya.

Apakah Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini sama spesialnya dengan miliaran cerita cinta lain? Sama istimewanya dengan kisah cinta kita? Ah, kita tidak memerlukan sinopsis untuk memulai membaca cerita ini. Juga tidak memerlukan komentar dari orang-orang terkenal. Cukup dari teman, kerabat, tetangga sebelah rumah.

Nah, setelah tiba di halaman terakhir, sampaikan, sampaikan ke mana-mana seberapa spesial kisah cinta ini. Ceritakan kepada mereka.


Sekilas tentang Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah 



Tidak ada yang lebih indah dibanding masa muda. Ketika kau bisa berlari secepat yang kau mau, bisa merasakan perasaan sedalam yang kau inginkan, tanpa perlu khawatir jadi masalah. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 132)


Saat usia Borno baru 12, terjadilah malapetaka. Bapak disengat ubur-ubur. Tapi bagi Borno, malapetaka sebenarnya bukanlah perkara sengatan hewan beracun itu. Yang menyesakkan dadanya adalah saat bapak mendonorkan jantungnya bahkan sebelum beliau benar-benar meninggal. Borno tak tahu pasti, entah sengatan ubur-ubur atau pisau bedah dokter yang membuat bapak mati.

10 tahun kemudian, Borno sudah merasakan berpindah-pindah pekerjaan. dari mulai bekerja di pabrik karet, menjaga loket kapal feri hingga meneruskan profesi almarhum bapak, menjadi pengemudi sepit. Profesi yang menjadi pembuka pintu gerbang bagi kisah cinta Borno.

Suatu hari, gadis berbaju kurung kuning, mengembangkan payung merah, menaiki sepit yang dikemudikan Borno. Meninggalkan pesona, sekaligus surat bersampul merah. Surat yang Borno sangka sekedar angpau biasa. Surat yang baru Borno ketahui isinya sekian waktu kemudian.

Abang mau terima angpau juga?
Eh? Kau memanggilku?
Iya. Abang Borno, mau angpau?
(Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 95)

Borno tak tahu, apa yang membuatnya merasa terobsesi dengan si gadis berbaju kurung. Apakah karena dia ramah, akrab, tulus dan cantik. Ataukah kombinasi dari semuanya. Sialnya, seminggu berada dalam 1 sepit, Borno tak kunjung tahu nama gadis itu. Lebih sial lagi, saat nama sudah dikantongi, sang gadis beranjak meninggalkan Borno dan Sungai Kapuas, kembali ke Surabaya.

Cinta memang tak pernah mudah. Borno bahkan tak pernah menyangka bahwa gadis yang mencuri hatinya, adalah orang yang pula berkelindan dengannya di masa lalu.

Tidak ada yang mudah dalam cinta. Biarkan semua mengalir bagai Sungai Kapuas. Maka kita lihat, apakah aliran perasaan itu akan semakin membesar hingga tiba di muara atau habis menguap di tengah perjalanan. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 278)


Kata Ketimpuk Buku tentang Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah

Dalam banyak urusan, kita terkadang sudah merasa selesai sebelum benar-bener berhenti. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 44)

Meski lumayan telat membaca novel sebagus ini di pertengahan 2016, tapi tak apa. 512 halaman yang aku santap di Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah mampu membuka pemahaman baru tentang cinta, cita-cita, hingga prinsip hidup seorang Borno (berasal dari kata Borneo. E-nya hilang karena orang-orang lebih mudah menyebut Borno).

Borno hidup di tengah keluarga nelayan tangguh. Karakter Borno ini istimewa, dia dikenal sebagai bujang yang memiliki hati paling lurus sepanjang Sungai Kapuas. Berpuluh kali diumpat, disuruh-suruh, diplonco oleh tokoh bernama Bang Togar, tak sekali pun Borno mengeluh atau marah. Hatinya tetap lurus. Hati lurus Borno ini membuat kisah cintanya dengan Mei, si gadis berpayung merah, terasa menggemaskan. Rusuh sendiri.

Tokoh Pak Tua yang bijak juga dihadirkan untuk menyampaikan pesan-pesan mengenai cinta sejati dan pemahaman hidup yang baik. Sangat membantu tokoh utama untuk bertransformasi menjadi sosok yang makin baik seiring waktu. Tidak terkesan menggurui kok, justru karakter Pak Tua yang kadang usil, malah semakin memeriahkan cerita. Tentu saja untuk urusan memeriahkan cerita ini, tokoh Andi, sahabatnya Borno, juga punya peran tak kalah penting. Contohnya, bagian tentang bongkar membongkar vespa sama sekali nggak mudah buat dilupakan. :D

Setting cerita berlangsung di sekitaran Sungai Kapuas, yang merupakan sungai paling panjang dan luas di Kalimantan. Selain itu, cerita juga bergulir sejenak di Istana Kadariah. Lantas mampir di Surabaya sewaktu Borno menemani Pak Tua terapi asam urat di kota ini. Mengajak pembaca untuk plesiran di tempat-tempat menarik di kota Surabaya.

Lewat novel ini pula, aku jadi tahu seputar istilah-istilah yang akrab di kehidupan nelayan, seperti sepit (yang berasal dari kata speed), sebutan untuk perahu kayu yang bermesin tempel. Istilah semacam internal combustion engine, Guide for Internal Combustion Engine, mesin tempel, mesin penggerak, transmisi dan propeler tumpah ruah di beberapa bagian cerita.

Meski tema utama cerita ini adalah cerita cinta, lengkap dengan filosofi akan cinta sejati, Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, juga bercerita tentang pencarian jati diri. Tengoklah Borno, berkali-kali bergonta ganti pekerjaan, sampai pernah menjadi saksi langsung tindakan korupsi di kapal feri.

Banyak orang yang kantornya wangi, sepatu mengilat, baju licin disetrika, tapi boleh jadi busuk dalamnya. Dimakan hanya menyumpal perut, tumbuh jadi daging keburukan dan kebusukan. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 42)

Sampai kemudian, saat Borno diajari menjadi montir di bengkel bapak Andi, Borno merasakan sesuatu yang lain. Saat berjibaku dengan peralatan bengkel, dia tak kepayahan sama sekali. Seakan-akan tanpa diajari pun, memperbaik motor dan mobil memang sudah menjadi kemampuan alaminya. Well, Borno mengajari kita untuk tak pantang menyerah sekaligus mensyukuri pekerjaan yang telah dimiliki. Melakukan yang terbaik, hingga kemudian berada di posisi terbaik.

Dan terakhir, meski sepintas lalu, sebagai angkasawati di salah satu RRI kabupaten, selingan tentang radio di warung pisang goreng di pinggir Sungai Kapuas yang me-relay siaran berita RRI di halaman 62 cukup membuat semringah. Aku membayangkan siaran RRI menjadi semacam backsound untuk kisah cinta Borno dan Mei. :)


Kutipan-kutipan favorit di Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah

Benci atau suka itu relatif. Lama-lama terbiasa, lama-lama jatuh cinta. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 25)


Kau bolak-balik sedikit saja hati kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-suruh menjadi penerimaan. Seketika, wajah kau tak kusut lagi. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 59)

Kau tahu, orang yang paling bersyukur di dunia ini adalah orang yang selalu makan dengan tamunya. Sebaliknya, orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja mengeluhkan makanan di hadapannya. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 121)

Perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung, dan di kejap berikutnya mengubah hari-mu jadi buram padahal dunia sedang terang benderang. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 132)

Sembilan dari sepuluh kecemasan muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. Nyatanya seperti itu? Boleh jadi tidak. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 133)

Dunia ini terus berputar. Perasaan bertunas, tumbuh mengakar, bahkan berkembang biak di tempat yang paling mustahil dan tidak masuk akal sekalipun. Perasaan-perasaan kadang dipaksa tumbuh di waktu dan orang yang salah. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 146)

Aku tahu, ada momen penting dalam hidup kita ketika kau benar-benar merasa ada sesuatu yang terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 149)

Cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap emnari meskipun musiknya telah lama berhenti. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 167)

Cinta sejati laksana sungai besar. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama semakin besar sungainya, karena semakin lama semakin banyak anak sungai perasaan yang bertemu. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 168)

Di dunia ini, terkadang urusan yang dicari seringkali menjauh-jauh, urusan yang tidak dicari malah mendekat-dekat. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye :185)

Cinta sejati adalah perjalanan. Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 168)

Terkadang, dalam banyak keterbatasan, kita harus bersabar menunggu rencana terbaik datang, sambil terus melakukan apa yang bisa dilakukan. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 210)

Bagi bayi, sakit adalah tahapan naik kelas. Sakit sebelum bisa merangkak, sakit sebelum bisa berdiri, sakit sebelum bisa berjalan. Bagi kita yang jelas tidak mengulum jempol lagi, sakit adalah proses pengampunan. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 250)

Sepanjang kau punya rencana, jangan pernah berkecil hati. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 282)

Cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 288)

Jangan sekali-kali kau biarkan prasangka jelek, negatif, buruk, apalah namanya itu muncul di hati kau. Dalam urusan ini, selalulah berprasangka positif. Selalulah berharap yang terbaik. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 299)

Cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya. Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan . (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 194)

Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kau pamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 428)

Berasumsi dengan perasaan, sama saja dengan membiarkan hati kau diracuni harapan baik, padahal boleh jadi kenyataannya tidak seperti itu, menyakitkan. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 429)

Jika memang cinta sejati kau, mau semenyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 430)

Boleh jadi ketika seseorang yang kita sayangi pergi, maka separuh hati kita seolah tercabik ikut pergi. Tapi kau masih memiliki separuh hati yang tersisa, bukan? Maka jangan ikut merusaknya pula. Itulah yang kau punya sekarang. Satu-satunya yang paling berharga. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 479)

Seorang pekerja yang baik adalah ketika dia memberikan yang terbaik. Sukses akan datang dengan sendirinya. (Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah – Tere Liye : 490)